Sabtu, 16 Agustus 2008

Larung Ageng Jaka Tingkir : Upaya Urip-uripi Budaya

Masyarakat jawa, telah lama mengenal legenda Jaka Tingkir. Jaka Tingkir adalah seorang pemuda desa yang memiliki kesaktian dan budi pekerti luhur. Hidup yang dijalaninya, seketika berubah saat sang guru mendapat wangsit bahwa Jaka Tingkir akan menjadi seorang pemimpin.

Jalan bagi pemuda sederhana ini untuk mewujudkannya, amatlah berliku. Namun berkat kegigihannya, akhirnya sampailah Jaka Tingkir menuju tahta, yang selanjutnya dikenal dengan nama Sultan Hadiwijaya, dan menjadi cikal bakal keturunan raja-raja Mataram.

Perubahan hidup Jaka Tingkir bisa dibilang diawali dari perjalanannya menyusuri sungai Bengawan Solo, menuju Kerajaan Demak. Perjalanan ini untuk mewujudkan wangsit yang diterima Kyai Banyu Biru, sang guru, bahwa Jaka Tingkir kelak akan menjadi pemimpin. Kini, setelah sekian abad berlalu, perjalanan sang pemuda Desa Jaka Tingkir menyusuri Bengawan Solo diambil sebagai sebuah ritual dan atraksi Larung Ageng.

Perarakan gethek Jaka Tingkir dengan perahu bercorak Rajamala di aliran sungai Bengawan Solo ini, diawali dari Pesanggrahan Langenharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Arak-arakan ini nantinya akan melintasi bentaran sungai Bengawan Solo sepanjang 42 kilometer dan berakhir di makam orang tua sekaligus guru Jaka Tingkir, Kyai Butuh, di Sragen.

Selain masyarakat setempat, Larung Ageng Jaka Tingkir juga melibatkan Keraton Surakarta dan Mangkunegaran Solo. Momen budaya yang bertepatan dengan syawalan ini, selain sebagai upaya menghidupkan budaya jawa melalui sosok Jaka Tingkir, diharapkan juga mampu mengundang wisatawan. Arak-arakan perahu yang melintasi tiga kabupaten di Jawa Tengah yakni, kabupaten Solo, Sukoharjo dan Sragen, diharap bisa menjadi pengikat antar daerah. Selama ini, kerja sama antar daerah di Solo dinilai masih kurang, terutama dalam mengembangkan budaya dan lokasi wisata di propinsi Jawa Tengah.

Upaya urip-uripi budaya atau menghidupkan budaya melalui napak tilas Jaka Tingkir, dengan perjalanan selama delapan jam melewati aliran Bengawan Solo ini, baru pertama kalinya dilaksanakan. Kekhawatiran adanya gangguan selama mengarungi Bengawan Solo, tetap menjadi perhatian. Selain dibutuhkan arus air yang memadai, turunnya hujan, juga bisa menggagalkan kirab Larung Ageng.

Jaka Tingkir, pemuda yang besar di Desa Tingkir, selain bagus rupa, juga dikenal baik budi dan sakti mandra guna. Sampai sekarang, barang peninggalan Jaka Tingkir, seperti gethek yang dinaikinya, masih dikeramatkan. Konon, barang siapa memiliki potongan bambu gethek Jaka Tingkir, dirinya akan terhindar dari segala bentuk marabahaya. Prosesi Larung Ageng Jaka Tingkir yang ditunggu-tunggu, segera dimulai. Satu kompi pasukan kraton Surakarta dan kraton Mangkunegaran, yang terdiri dari Tamtama, Prawira, Jayeng Asro, dan pasukan pengawal raja, Sorogeni, siap mengawal perjalanan Jaka Tingkir.

Diiringi gemulai Tari Gambyong, Jaka Tingkir yang didampingi Ki Ageng Penjawi serta Ki Ageng Pamanahan, saudara seperguruannya, siap menjalani Larung Ageng. Dari penggalan Tembang Sigra Milir, tersirat begitu sakralnya perjalanan Jaka Tingkir mengarungi sungai Bengawan Solo. Dengan hanya menggunakan rakitan bambu, Jaka Tingkir siap menaklukkan Demak. Perjalanan melintasi Bengawan Solo ini dinilai istimewa bagi masyarakat setempat, mengingat secara akal sehat, kala itu perjalanan tersebut sulit dilaksanakan. Bahkan konon, berbagai ancaman siap menggagalkan Jaka Tingkir dalam mewujudkan cita -citanya. Namun, berbekal kesaktian yang dimiliki, Jaka Tingkir berhasil mengatasi semua cobaan. Bahkan buaya-buaya yang awalnya mengganggu perjalanan Jaka Tingkir, justru berbalik membantu menjaga gethek sang pendekar dalam menaklukkan arus Bengawan Solo.

Dari sinilah, Tembang Sigra Milir masih dinilai keramat. Jika dilantunkan dalam waktu yang salah, celakalah bagi sang penembang. Tak diduga sebelumnya, napak tilas arak-arakan gethek Jaka Tingkir, ternyata berhasil menyedot ratusan ribu pengunjung. Lautan manusia memenuhi sepanjang bantaran sungai Bengawan Solo, berharap cemas, akankah arakan Larung Ageng, mampu melewati rintangan yang ada. Dalam Larung Ageng ini, tiga titik menjadi tempat persinggahan Jaka Tingkir. Selain Pendopo Langenharjo, di tengah perjalanan, Jaka Tingkir berhenti di taman Ronggo Warsito atau Taman Gesang, Jurug Solo. Disini, Jaka Tingkir berganti titian, dari gethek, dilanjutkan dengan kuda dan gajah sebagai alat transportasi. Wana Wisata Taman Jurug semakin marak, menyambut kedatangan Jaka Tingkir.

Gemulai tarian Gambyong Pare Anom, di Taman Gesang, menambah hidup suasana Larung Ageng. Tujuan terakhir Kirab Larung Ageng Jaka Tingkir, terletak 17 kilometer dari Taman Jurug, yakni makam orang tua sekaligus guru Jaka Tingkir, Kyai Butuh, di Desa Butuh, Sragen. Keberadaan makam orang tua Jaka Tingkir di Desa Butuh, Sragen, menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat sekitar. Tidak heran, jika sepanjang pagi hingga petang, dengan sabar, mereka menunggu kedatangan arak-arakan Jaka Tingkir. inilah pertama kalinya Desa Butuh dilibatkan langsung dalam kisah Jaka Tingkir. Karena itu, sesekali mereka histeris, setiap kali melihat perahu melintasi kawasan tersebut.

Melihat sambutan masyarakat, ada harapan untuk dapat menyajikan Larung Ageng Jaka Tingkir setiap tahunnya, meskipun membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sekitar 150 juta rupiah. Optimisme terhadap rasa antusias warga setempat dalam prosesi Larung Ageng ini memang tidak perlu diragukan lagi. Tinggal sekarang bagaimana pihak pemerintah daerah setempat dan instansi terkait bisa mengembangkan peluang ini menjadi sebuah sajian pariwisata yang tidak hanya bermakna bagi warga setempat, namun juga mampu memikat perhatian wisatawan dari luar daerah.(Idh)

Sumber : http://www.indosiar.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Stars Template Copyright by Wisata & Budaya Langenharjo | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Laropstars